"Tolong Mbah, pokoknya aku harus bisa mendapatkan Kang Ridho," ucapku memohon kepada Mbah Mijo. Dia adalah dukun yang terkenal mumpuni dengan ilmu-ilmunya untuk memelet laki-laki atau perempuan yang kita cintai, dan aku mendapat informasi ini dari Ningsih, sahabatku di kampung.
"Ajian semar mesem yang diberikan Mbah Mijo benar-benar ampuh, Wi. Aku saja sudah mempraktikan dan sukses," ujar Ningsih cengar-cengir.
Aku mencebikkan bibirku mendengar ocehannya itu.
"Oke, deh aku akan mencobanya, semoga saja benar-benar manjur seperti katamu," sahutku.
Sebenarnya aku sendiri tidak begitu yakin dengan langkah yang kuambil ini, meminta bantuan dukun untuk memuluskan rencanaku. Akan tetapi, sepertinya aku tidak mempunyai pilihan lain, Ya, meskipun sudah banyak warga di kampungku ini yang mengakui kecantikan wajahku, akan tetapi kulihat Kang Ridho bukan tipe laki-laki biasa yang mudah ditaklukkan. Kepribadiannya yang tenang, bersahaja serta ilmu agamanya yang tinggi pasti bukan hal yang gampang bagiku untuk bisa memikatnya hanya dengan modal tampang dan kegenitanku.
Rambut lurus hitam legam sepinggang, kulit mulus kuning langsat, bulu mata yang lentik dengan alis tebal dan hidung yang bisa dikatakan tidak mancung tapi tidak juga pesek, serta dua lesung pipi yang semakin menambah pesonaku. Apalagi aku adalah mantan finalis putri pariwisata tingkat kabupaten satu tahun yang lalu. Dengan semua pesonaku yang paripurna itu akan dengan mudah bagiku membuat laki-laki jatuh cinta.
Tetapi entahlah, dengan semua pesona yang kumiliki itu aku tetap tidak percaya diri untuk menggaet Kang Ridho, karena aura laki-laki itu berbeda dari kebanyakan yang aku kenal dan dekat denganku selama ini. Akhirnya dengan berbekal informasi yang diberikan Ningsih, sore itu aku langsung berangkat ke rumah Mbah Mijo.
Bingkisan gula lima kilo, kopi satu bungkus besar, dan rokok kesukaanya satu press serta amplop yang sudah kuisi uang siap kubawa ke rumah dukun itu. Kulajukan sepeda motorku menuju rumah Mbah Mijo yang terletak di perbatasan kampung.
Seorang lelaki tua, berusia sekitar tujuh puluhan dengan gurat wajah yang keras menyambutku di pintu masuk rumah bercat hijau tua itu. Dia mempersilakan aku masuk ke dalam ruangan berukuran 4x5 meter yang terletak di samping ruang tamu.
"Kamu amalkan mantra ini, sehari satu kali sambil memandang wajahnya, ingat ya, harus memandang wajahnya, selama satu minggu!" kata Mbah Mijo kepadaku sambil menyerahkan sebuah kertas bertuliskan mantra semar mesem.
Aku menerima kertas itu dengan senyum semringah, "Yes!" Akhirnya Kang Ridho akan menjadi miliku.
"Terima kasih, Mbah, saya pamit dulu," kataku kepada Mbah Mijo.
Setelah menyerahkan upeti kepada dukun itu, aku segera bergegas pulang. Segera kulajukan sepeda motor dengan pelan dan hati berbunga-bunga, tanpa memedulikan sapaan tetangga yang melihatku senyum-senyum sendiri. Aku membayangkan Kang Ridho yang akan langsung jatuh cinta kepadaku setelah kuamalkan ajian ini.
Kang Ridho adalah guru baru di musala tempat Ayu adikku belajar mengaji setiap sore. Dia juga seorang guru SMA yang ada di kecamatan tempat aku tinggal. Ia berasal dari tanah Pasundan. Orangnya ganteng, ramah, suaranya merdu saat mengaji, dan tentu saja saleh. Dia datang sebulan yang lalu karena ditempatkan mengajar di daerahku ini. Umurnya mungkin beberapa tahun di atasku, namun di antara semua itu ada satu hal yang penting, kukira dia belum menikah karena ia datang ke kampungku hanya sendirian tanpa mengajak siapapun.
Pembawaanya yang ramah dan sopan membuatnya banyak disukai warga, terutama ibu-ibu yang anaknya mengaji di musala. Namun, bukan hanya mereka saja yang suka kepada Kang Ridho, nyatanya aku yang terkenal supel dalam bergaul, modis dan menurut orang cantik ini pun terpesona dengan sosoknya itu.
Pertemuan pertamaku dengannya adalah saat aku harus mengantarkan Ayu ke musala karena ban sepeda yang biasa dia pakai kempes. Di sanalah aku bertemu kang Ridho. Senyumnya, cara dia menyapa, dan tutur katanya benar-benar membiusku. Sejak saat itulah wajahnya selalu terbayang-bayang dan membuatku tidak bisa tidur setiap malam. Aku ingin memilikinya.
***
Baca juga : Lelaki di Dalam Kereta
Setelah mempersiapkan diri selama dua hari, dengan semakin mempercantik penampilanku, akhirnya mulai hari ini kuamalkan ajian semar mesem dari Mbah Mijo . Setiap sore, aku rajin mengantar Ayu mengaji ke musala demi bisa menatap dan merapalkan ajian itu. Awalnya Ayu sewot dengan keputusanku yang tiba-tiba berbaik hati mau mengantarnya.
"Lha, kan sepedaku sudah enggak kempes lagi bannya, Mbak. Aku berangkat sendiri saja," ujar Ayu menolak tawarannku.
Tapi, demi memuluskan rencanaku menaklukkan sang pujaan hati, aku tidak pantang menyerah.
"Sudah, enggak apa-apa, Yu. 'Kan malah enak to, tak anterin daripada kamu capek. Seminggu aja kok, itung-itung mbak Dewi olahraga gitu, nanti tak belikan es krim wis, mumupng aku lagi baik hati," bujukku.
Akhirnya Ayu mengalah. Selama satu minggu itu aku pun selalu rajin berdandan. Memakai baju yang kuanggap paling bagus, menyisir rambut indahku dengan rapi dan tidak lupa selalu memasang senyum paling manis. Aku biasa duduk di bangku panjang yang ada di bawah pohon kersen yang letakknya di depan pintu masuk musala, jaraknya hanya beberapa meter dari pintu. Dari sanalah aku mengamati wajah Kang Ridho sambil merapal mantraku.
Setelah satu minggu, aku mulai melihat tanda-tanda ajian itu bekerja. Kang Ridho mulai sering menyapa atau sekedar melempar senyum kepadaku. Tentu saja hal itu membuatku bahagia, dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Dalam waktu dekat aku bahkan merencanakan untuk mengundangnya ke rumah, makan malam bersama keluargaku. Dengan begitu hubungan Kang Ridho dengan kedua orangtuaku akan semakin akrab dan tentu saja itu akan semakin memudahkan jalanku untuk menyampaikan kepada mereka tentang perasaan yang selama ini kupendam kepada laki-laki itu.
Tampaknya dewi fortuna memang sedang berpihak padaku, buktinya di suatu sore saat kelas mengaji sudah selesai, tiba-tiba Ayu pamit ke kamar mandi. "Mbak Dewi tunggu sebentar ya, aku kebelet ini," ucap Ayu sambil berlari kecil ke samping musala.
"Iya sudah, cepat sana!" ujarku sewot.
Namun, air mukaku seketika berubah cerah, saat kulihat Kang Ridho berjalan mendekat ke arahku. Hatiku berdebar tidak karuan, diri ini menjadi salah tingkah, dengan terburu-buru aku memperhatikan diri sendiri, apakah riasan wajahku masih utuh atau sudah luntur? Bagaimana dengan tatanan rambutku? Apakah masih rapi atau sudah berantakan? Aduh! Aku jadi bingung sendiri menyadari Kang Ridho sudah semakin dekat. Aku terpaku di tempat dudukku dengan keringat dingin yang mulai membanjiri tubuhku.
"Assalamualaikum," sapa Kang Ridho sambil tersenyum manis.
"Waalaikumsalam," jawabku gugup.
"Dewi sekarang rajin ya mengantar Ayu ke musala. Akang perhatikan, beberapa hari ini sering duduk di sini dan melihat ke dalam. Apa mau ikut belajar mengaji juga?" tanya Kang Ridho dengan senyum yang membuat hatiku bersorak tak karuan.
"Eehh ... mau, Kang," jawabku asal.
"Baiklah, InsyaAllah minggu depan istriku akan datang menyusul ke kampung ini, nanti kamu bisa belajar mengaji kepadanya, nanti aku kenalkan. Dia orangnya baik dan ramah, usianya mungkin sepantaran denganmu. Nanti akan aku ajak dia untuk silaturahmi ke rumahmu, ya" ucap Kang Ridho dengan nada yang tenang.
Eh ... apa "Istri!" Aku setengah berteriak dengan mata melotot dan mulut terbuka.
"Iya, namanya Rahma," ujar Kang Ridho lagi tanpa rasa bersalah.
Entah mengapa kali ini suara Kang Ridho yang biasanya merdu berubah menggelegar seperti petir yang menyambar di siang bolong.Tiba-tiba aku merasa langit runtuh menimpaku, berjuta bintang menusuk tubuhku.
Badanku terasa kaku seolah terpatri di bangku kayu yang aku duduki ini. Wajahku memanas, entah apa warnanya sekarang, antara malu dan kecewa bercampur menjadi satu. Aku segera berdiri dan memastikan agar tidak terjatuh, tetapi tampaknya, kakiku terlalu lemas menyangga tubuhku.
"Duh, Gusti! Apa aku salah, ya merapal mantranya, kok tidak berhasil begini? rutukku dalam hati.
Sesaat, aku merasakan kepalaku berdenyut hebat, seolah-olah ada sekumpulan burung kecil membuat lingkaran menari di atasnya. Pandanganku mengabur, kaki semakin melemas, dan ... gubrak! Seketika itu juga duniaku menjadi gelap.
***
Sehari setelah peristiwa memalukan itu, dan dengan ditemukannya barang bukti berupa selembar kertas berisi mantra semar mesem yang ikut terjatuh saat aku pingsan, Bapak dan Emak langsung menggelar sidang darurat di ruang tengah selepas salat magrib.
"Makanya Wi, jadi anak itu jangan hanya bisa dandan sama ngelayap aja, ibadahnya juga dikencengin," ucap Emak gemas sambil menoyor kepalaku.
"Besok kamu harus minta maaf sama Ustaz Ridho dan istrinya, terus salat taubat, minta ampun sama Allah karena kamu sudah percaya selain-Nya," kata Emak dengan berapi-api.
Aku hanya menunduk sambil mengangguk pelan, menatap ubin yang seolah-olah juga ikut menertawakan dan merutuki kebodohanku. Sumpah! Rasanya ingin menghilang saja dari muka bumi ini agar tidak perlu lagi bertemu sama Kang Ridho dan istrinya.
Salam hangat
Ulfah Wahyu