Dear Nia

Juli 08, 2020



Apa kaba Nia? Sudah lebih dari satu minggu ini aku tidak menulis surat buat kamu. Maafkan ya, Mama kurang sehat beberapa hari ini. Kamu tahu kan, musimnya sedang pancaroba. Aku flu berat, hingga harus beristirahat beberapa hari ini.

Dear Nia
Bagaimana hari-harimu di sana, apa kamu bahagia. Maaf, aku belum sempat mengirimkan baju gamis coklat muda pesanannmu waktu itu. Sampai saat ini gamis itu bahkan masih tersimpan rapi dalam lemariku.

Dear Nia
Oh ya, bagaimana kabar teman perempuanmu yang baru itu. Kamu bilang, dia masih suka menangis di pondok karena belum bisa sepenuh hati berpisah dari orang tuanya.

"Kasihan Dila , Ma. Hampir tiap malam dia menangis. Kangen sama Ibunya. Kami yang satu kamar jadi ikutan sedih," ucapmu saat jadwal sambangan di minggu keempat.

"Kamu hibur dia dong, Nia. Kan kasihan kalau dia terus menerus menangis. Tapi Mama yakin, suatu saat nanti dia pasti akan baik-baik saja. Kan temannya banyak, baik-baik lagi. Benar kan," kataku sambil tersenyum.

Kulihat kamu tertawa kecil mendengar ucapanku sambil mengangguk.

Dear Nia 
Aku benar-benar bahagia, kamu sudah mulai kerasan tinggal di pondok. Kamu tahu, Sayang. Justru aku lah yang tidak bisa tidur dan tidak nafsu makan selama hampir satu minggu. Memikirkan kamu terus. Tetapi tidak apalah, yang penting kamu kerasan di sana.

Dear Nia 
Kamu masih ingat kan, saat sambangan pertama dulu. Aku membawa semua makanan kesukaanmu. Ada udang goreng, kerupuk, rempeyek teri, telur asin, susu, roti tawar dan juga madu satu botol besar. Kamu bahkan mentertawakan diriku yang membawa semua amunisi itu dengan kewalahan.

"Ya Allah, Ma. Di sini kan ada kantin. Aku bisa jajan sendiri kalau lapar. Lagipula jatah makannya juga lumayan banyak kok," katamu sambil tersenyum geli melihat kerepotanku mengeluarkan semua barang-barang itu, untuk kutunjukkan kepadamu.

"Tidak apa-apa lah, Nia. Kan di kantin tidak menjual yang Mama bawa ini. Sudah ya, kamu bawa saja dibagi sama teman-temannya," bujukku padanya.

Akhirnya kamu mau menerima semua amunisi itu. Akan tetapi, dengan pesan besok kalau sambangan tidak perlu membawa jajan banyak-banyak.

"Nanti aku telepon saja, Ma, barang-barang apa saja yang harus di bawa. Biar Mama tidak repot," katamu sambil tersenyum manis.

Begitulah kamu, Nia, anak gadis Mama satu-satunya yang selalu perhatian dan sangat menyayangi Mamanya.

Tidak terasa, sudah hampir satu tahun Nia tinggal di pondok. Kami mempunyai jadwal rutin untuk sambangan. Satu bulan sekali diakhir minggu. Waktu itu menjadi hal yang paling aku tunggu-tunggu.

Dear Nia
Saat sambangan bulan kemarin, ada hal yang membuatku sedih. Kamu sakit. Ya Allah, ingin rasanya bertukar tempat dengan dirimu. Biarkan aku yang merasakan sakit itu. Wajahmu tampak pucat, bibirmu kering dan tubuhmu sangat lemah. Menurut cerita Ustazah Laila, musyrifahmu, kamu sudah merasa tidak enak badan sejak dua hari yang lalu. Ustadzah Laila sudah menawarkan diri untuk menelepon kami. Tetapi kamu tidak mau. 

"Saya baik-baik saja , Ust," katamu kepada Ustazah Laila.

Akhirnya, Ustazah Laila mengurungkan niatnya menghubungi Mama. Namun, sehari kemudian kondisimu semakin menurun, akhirnya Ustazah Laila menghubungi Mama dan meminta untuk menjemputmu pulang.

Dear Nia
Tahukah kamu, Sayang. Betapa kaget dan sedihnya diriku, saat menerima kabar sakitmu itu. Duniaku seakan-akan tidak lagi berwarna, suram, dan seluruh persendianku terasa lepas dari tubuhku. Bergegas kami segera meluncur, membelah dinginya fajar, untuk bisa segera sampai ke kotamu menuntut ilmu. Dan di sinilah sekarang kami berada. 

Aku benar-benar hancur melihat kondisimu yang seperti ini. Tubuhmu kelihatan kurus, Namun seperti biasa, lihatlah dirimu yang masih berusaha untuk tetap tersenyum dan ceria, walaupun aku merasakan wajah itu tak lagi bercahaya, pendar sinarnya telah redup. Ustazah Laila pun ikut sedih melihatmu.

Akhirnya kami membawamu pulang. Merawatmu di rumah, sampai kondisimu membaik nanti. Akan tetapi, dari hari ke hari kami melihat, kondisimu semakin menurun. Beberapa kali terlihat darah segar keluar dari hidungmu. Aku benar- benar panik. Saat itu juga, kami membawamu ke rumah sakit untuk Menjalani serangkaian pemeriksaan dokter tentang penyakitmu. 

Betapa terkejutnya aku, saat dokter mengatakan, kalau kamu terkena penyakit leukimia. Jantung ini seakan berhenti berdetak, mata tiba-tiba berkunang-kunang. Tubuhku seakan tidak lagi berpijak pada bumi, aku benar-benar tidak percaya dengan semua ini.

Dear Nia 
Tahukah kamu, bagaimana perasaanku saat itu. Hancur, Nak, tidak bersisa. Tetapi lihatlah dirimu, yang masih terus tersenyum tegar melewati hari-harimu. Bahkan kamulah yang meyakinkan diriku, agar jangan bersedih karena kamu pasti akan sembuh.

"Mama jangan sedih, aku tidak apa-apa. Sebentar lagi juga baikan," katamu dengan senyum manis yang terasa hambar bagiku.

Dear Nia 
Aku melewati hari-hari dengan tidak henti berdoa untuk kesembuhanmu. Selama berada di rumah sakit, tidak pernah sedetik pun aku meninggalkan dirimu. Kecuali ke kamar mandi. Aku ingin selalu berada di dekatmu, mengetahui setiap detik perkembanganmu. 

Hingga di suatu hari, malam yang dingin aku tidak lagi melihat matamu terbuka, wajahmu semakin pucat, bibirmu tidak lagi merah. Aku panik, Nia. Kugoyang-goyangkan tubuh lemahmu itu, berteriak memanggil namamu. Namun, kamu tetap diam tak bergeming. Aku putus asa segera ku panggil suster penjaga. Mereka segera mengecek keadaanmu.

Kepanikan segera memenuhi ruangan bercat putih itu. Dokter berdatangan untuk mengecek kondisimu. Mereka memintaku untuk meninggalkan ruangan. Aku keluar dan bersandar pada dinding yang dingin, tergugu tanpa suara. Tidak lama kemudian, mereka keluar dengan wajah muram. Seorang suster berjalan pelan mendekatiku.
 
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun," suara suster berwajah lembut itu sambil menunduk.

"Pasien sudah meninggal dunia Bu," katanya kemudian.

Tubuhku seketika lemas, tulang-tulangku seakan lepas dari ragaku. Aku terjatuh di lantai dengan cucuran air mata dan suara tangis yang tertahan.

Dear Nia
Kamu tahu, Sayang. Bagaimana rasanya kehilangan itu. Sakit! Aku membenci diriku sendiri. Mengapa tidak pernah menyadari penyakit yang kamu derita selama ini. Perlahan aku mulai mengurai rasa sesal dalam hati, dengan terus berusaha hidup dalam kenangan indah tentang kebersamaan kita selama ini.  Rasa kehilangan itu begitu kuat memasung diriku dalam ruang gelap tanpa cahaya.

Aku hanya bisa terduduk lemah, saat mereka memasukkan jenazahmu ke dalam tempat peristirahatanmu yang terakhir. Bayangan permintaanmu tentang gamis warna coklat yang belum sempat aku bawakan ke pondok. Senyum tabah yang kamu perlihatkan saat kami pertama kali menyambangimu dan senyum ketegaranmu saat sakit merenggut kebebabsanmu, tiba-tiba berputar-putar silih berganti memenuhi otakku. Aku menjerit histeris. 

Sejak hari pemakaman itu aku bahkan tidak pernah lagi merasakan rasa sakit karena kehilangan. Karena sejak hari itu. Aku berada di tempat yang berisi khayalan dan angan-angan indah tentang dirimu, Nia.

"Ibu Asri. Waktunya minum obat ya. Yuk kita masuk dulu. Hari sudah semakin malam," ucap seorang perempuan muda berbaju putih dengan senyum ramah.

Aku hanya menatapnya kosong. Perlahan bangkit dari tempat dudukku dan dia mengapit lengan kananku. Sebelum itu, dia membereskan terlebih dahulu, kertas-kertas yang berserakan di atas meja dan pulpen yang baru saja aku gunakan untuk menulis setiap harinya.

Aku memang suka sekali menulis surat setiap hari untuk Nia. Perempuan berbaju putih itu bilang. Kalau hal itu bisa membantuku untuk mengurangi tekanan batin akibat meninggalnya Nia. Putri semata wayangku itu.

Tulisan ini adalah salah satu cerita yang terdapat di dalam buku kumpulan cerpen saya yang berjudul Elegi Kopi Pagi.

Kudus awal Juli 2020

You Might Also Like

36 komentar

  1. Kisah sakitnya kehilangan anak shalehah. 😢

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, sedihnya sampai membuat kehilangan semangat hidup.

      Hapus
  2. MashaAllah..
    Alur cerita terasa hidup, memberikan kesan kesedihan yang dalam.

    BalasHapus
  3. Ceritanya bagus sekali, saya jadi ikut larut ke dalam suasana, jadi ikut sedih...

    BalasHapus
  4. Sedihnya... memang anak adalah jantung hati orangtua. Kehilangan pasti sakit sekali

    BalasHapus
  5. Jadi terharu bun baca ceritanya.Anak yang sholihah. Sebagai orang tua pasti akan sedih sekali jika kehilangan putri yang sholihah seperti ini.

    BalasHapus
  6. Ceritanya menguras emosi Mbak. Engga kebayang, kehilangan putri semata wayang. Semoga ini hanya cerpen...hiks...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, masih belajar nulis cerpen juga saya.

      Hapus
  7. 😭😭😭 sedih, aku nangis bacanya mama. Mama yang tabah.

    Cerita yang bagus mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, masih belajar juga mbak bikin cerita fiksi

      Hapus
  8. Cerpennya berupa surat dan ungkapan kesedihan ya. Sedih banget bacanyaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak berupa surat yang mewakili peeasaan hati sang Mama.

      Hapus
  9. Duh deg2an..dikira kisah nyata...aku udh gerimks aja mbak kalau perpisahan anak sama orang tua gini

    BalasHapus
  10. Ikut sedih bacanya.. Alhamdulillah, cerpen.

    BalasHapus
  11. Aah.. aku ikut larut ke dalam ceritanya. Kehilangan sosok yang sangat berarti Dan Kita cintai memang bikin Kita limbung.jadi pengen baca cerpen lainnya mbak.

    BalasHapus
  12. Jadi teringat temanku yang meninggal karena leukimia. Sedih banget mbak baca cerita ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga ada anak teman yang meninggal karena leukimia.

      Hapus
  13. Duh kok aku ikutan sedih ya mba membaca kisah ini. Terasa menyayat hati. Bagaimana seorang ibu harus terpisahkan dari anak perempuan kesayangannya.

    BalasHapus
  14. Sempat terpikir memasukkan si sulung ke pondok, tapi ga mau jauhan, dilema

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak apa-apa mbak, ini cerita cuma fiksi aja kok. Di pesantren insya Allah aman, anak sakit langsung di tangani. Yuk jangan ragu lagi.

      Hapus
  15. Tiba2 ikutan syedih mba.. keren bisa membawa pembaca masuk.. penasaran sama cerita2 lain di buki elegi kopi paginya.. suka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah kalau suka, terima kasih mbak.

      Hapus
  16. Huhuhu... Kebawa banget sedihnya. Kehilangan buah hati itu memang bisa bikin dunia hancur ya. No parent should have to bury a child.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar2 hancur mbak, karena anak adalah segalanya.

      Hapus
  17. Huaa, aku baca sampai akhir dan auto mbrebes mili mbak..
    Tulisannya hidup sekali

    BalasHapus
  18. Sedih banget Mbak. Suratnya benar-benar menginspirasi dan Kata2nya buat auto imajinasi. Ternyata sudah dibukukan juga tho. Kereen

    BalasHapus